Selasa, 20 Januari 2009

"Kata Kunci"

"Dimana suluh bangsaku"

Di manakah sesungguhnya kekuatan suatu bangsa di tengah arus perkembangan global? Orang akan dengan gampang berkata: tentu saja pada kualitas sumber daya manusianya! Sebagian lalu menunjuk Jepang dan Singapura sebagai acuan. Tidak berlebihan jika dua negara itu maju karena sumber daya manusianya unggul di tengah keterbatasan sumber daya alam yang mereka miliki. Bagaimana dengan Indonesia? Ketika kita menatap garis panjang sejarah perjalanan bangsa ini menapaki kemerdekaannya, sejak era revolusi hingga reformasi, tanda tanya besar tiba-tiba menyembul ke permukaan. Bahkan tidak sedikit di antara cerdik cendekia negeri ini yang risau melihat gejala serius terjadinya semacam proses pelapukan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari adanya kemajuan—terutama di bidang infrastruktur perkotaan yang ditandai kehadiran pusat-pusat perbelanjaan di seantero kota-kota besar dan gedung-gedung tinggi menjulang—di sana-sini, pada saat bersamaan kita disentakkan oleh suatu kesadaran kolektif bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia belum tahan uji. Buktinya? Sebaga negara-bagnsa, indonesia goyah begitu disentuh oleh badai krisis, bangunan negeri ini yang semula terlihat begitu kokoh ternyata langsung oleng. Tahun 1998, diakui atau tidak, adalah batu ujian sesungguhnya untuk mengukur kadar kemampuan dan daya tahan bangsa Indonesia. Apalagi ketika itu Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang dilanda krisis ekonomi. Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan (sekadar menyebut beberapa contoh kasus) juga mengalami hal serupa. Akan tetapi, mengapa mereka bisa begitu cepat bangkit dari keterpurukan, sementara Indonesia tampak kesulitan untuk bisa keluar dari terpaan badai krisis yang multi dimensional itu? Hari ini, penjajahan semakin akut menjalar pada kesadarn berpikir kita/imperialisme cognitive..
A. ”Homo homini lupus”
Lewat ungkapan ”badai pasti berlalu”, yang sepertinya sengaja diembus-embuskan, masyarakat malah dininabobokan oleh buaian dari judul lagu dan film romantis era 1970-an tersebut: bahwa batu ujian itu hanya kerikil kecil yang akan dengan mudah bisa dilangkahi. Maksudnya memang untuk membesarkan hati, tetapi dalam perkembangannya ternyata melenakan. Delapan tahun sudah berlalu, toh, dampak dari sapuan badai krisis itu masih dirasakan hingga kini. Ekonomi Indonesia masih saja morat-marit, uji coba sistem politik tak jua menemikan garis tegas kecocokan dengan kultur serta tradisi indonesia, pendidikan masih jauh dari harapan yang mencerdaskan, HAM masih jauh dari angan-angan yang ideal, gemah ripah loh jinawi sama sekali tak terbesit dalam visi dan cita-cita bangsa kita. Padahal indonesia adalah bangsa yang besar dan beradab-yang seharusnya mampu mengejar ketertinggalan peradabnnya...
Namun, kenyataan yang terpapar malah menunjukkan bahwa keterpurukan yang berawal dari bidang ekonomi tersebut berkembang menjadi krisis multidimensi. Memasuki era reformasi, kehidupan politik amburadul. Tatanan budaya, nilai-nilai moral, serta penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan ikut merosot. Keteladanan pun kian tipis. Sebaliknya, semangat untuk saling ”menikam” antarsesama justru menjadi berita sehari-hari di media massa kita. Homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi sesamanya) bagai menemukan tempat untuk berbiak. Lantas bagaimana kabar berita ideologi pembangunan yang di dambakan? Orde Baru sebagai ideologi politik (yang tidak semua tentang itu adalah hal buruk)- jauh sebelum badai krisis itu datang, kita sempat dilenakan oleh berbagai pujian dan jargon-jargon tentang keberhasilan pembangunan. Sejumlah pengamat asing bahkan sempat memberi apresiasi bahwa Indonesia sudah harus mulai diperhitungkan keberadaannya dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Jika Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan disebut-sebut sebagai ”macan” Asia, Indonesia diibaratkan ”anak macan” yang sedang tumbuh pesat dan setiap saat bisa menyalip posisi sang induk. Anehnya, begitu krisis moneter—yang kemudian berbuntut pada krisis ekonomi secara umum—menghantam, ”anak macan” Asia itu cuma bisa mengaum kesakitan. Tak ada lompatan mengagumkan dari si ”anak macan” yang dipuja-puji sedang bertumbuh. Tidak ada gerakan gesit yang diperlihatkan oleh si ”anak macan” untuk mencari terobosan-terobosan baru. Dia justru seperti tertidur pulas, bahkan mendengkur, di tengah peradaban yang terus bergerak. Sulitnya bangsa ini bangkit dari krisis multidimensi tersebut jelas membuktikan bahwa semua pujian dan jargon-jargon keberhasilan itu cuma omong kosong, lebih ironos lagi jika kita menyadari bahwa pujian tersebut tidak lebih dari sekedar penjajahan nalar dan kesadaran kita, bahwa “Kita Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Kaum Imperial”. Bajingan toh,,!!!!!
Lepas dari semua kebodohan itu, sebagai generasi yang diprediksi menjadi ”anak macan” Asia, Indonesia sesungguhnya telah kehilangan marwahnya sebagai negara yang pantas dibanggakan. Harga diri bangsa ini telah jatuh hingga ke titik nadir. Kebanggaan yang selama ini ditanamkan sebagai bangsa yang paling disegani di antara negara serumpun pun tiba-tiba pupus, ditandai terusirnya ratusan ribu tenaga kerja Indonesia dari negeri jiran: Malaysia! Prestasi paling menonjol yang dicapai bangsa ini justru dalam hal penyalahgunaan kewenangan alias korupsi sehingga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pelapukan dari dalam dan luar semakin melemahkan diplomasi, baik diplomasi terhadap bangsa sendiri maupun diplomasi terhadap kekuatan luar (Manca Negara / Negara Asing).
B. Cuma wacana
“Idza Tamma al-Amru Bada’a Naqshuhu” .....Kita tinggal sejenak ingatan tentang Soekarno dan Orde Lama-Soeharto dan Orde Baru-nya.....Dengan wajah bopeng semacam itulah kini kita menatap dunia, hadir dalam pergaulan antarbangsa yang kian mengglobal. Satu hal yang tidak bisa dimungkiri, setelah 60 tahun bebas sebagai anak jajahan, ternyata sebagai bangsa kita gagal mewujudkan cita-cita besar para pendiri bangsa ini, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, (Bangsa Merdeka Adalah Bangsa Yang Terbebas Dari Intervensi Bangsa Manapun).Tidak aneh bila penyair Taufiq Ismail sampai berucap lewat puisinya: ”Aku Malu Jadi Orang Indonesia!” Masyarakat yang adil dan sejahtera hanya sebatas ungkapan di atas kertas. Begitu pun jargon seputar isu peningkatan SDM. Meski sudah digelindingkan sejak awal tahun 1980-an, semua berhenti pada tingkat wacana. Ditambah ketiadaan kebijakan jangka panjang yang bersifat terukur, kesadaran akan pentingnya upaya pengembangan SDM sekadar diomongkan. Jadi, tidak usah heran bila peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (2000) di posisi 109 dari 174 negara anggota PBB yang disurvei UNDP. Bahkan, dalam laporan UNDP 2004, kini peringkat Indonesia turun ke urutan ke-111. Masih ada sejumlah indikator lain yang memperlihatkan bahwa kualitas SDM Indonesia kalah bersaing karena produktivitasnya rendah. World Competitiveness Yearbook (1997) menempatkan Indonesia pada urutan ke-39 dalam peringkat daya saing SDM di 47 negara. Tiga tahun kemudian, peringkat rendah ini pun gagal dipertahankan. Sebab, menurut laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia turun ke posisi 46 dari 47 negara yang disurvei. Sementara itu, dalam hal penyediaan tenaga insinyur, survei yang dilakukan Institute For Management Development menempatkan Indonesia di posisi ke-44 dari 46 negara. “Bahkan Indonesia Sama Sekali Belum Merdeka”
Makna dari angka-angka statistik di atas sudah sangat jelas di mana sesungguhnya posisi negeri ini dalam pergaulan antarbangsa. Daya saing SDM kita masih jauh dari memadai untuk memasuki kompetisi di tingkat global. Bahkan, di dalam negeri pun kita mulai waswas untuk bisa menahan serbuan tenaga-tenaga profesional asing. Di balik berita kematian seorang koki berkebangsaan Malaysia di sebuah restoran di Jakarta belum lama ini, sedikit banyak mengisyaratkan kepada kita bahwa untuk pekerjaan sebagai koki profesional saja bangsa ini sudah harus mendatangkan tenaga kerja dari luar.
Di sinilah pentingnya pendidikan sebagai titik berangkat untuk mengasah SDM yang mumpuni. Masalah, kapan bangsa ini benar-benar mau menempatkan pendidikan sebagai soko guru pembangunan, tentu dengan segala implikasi pembiayaannya yang harus ditanggung oleh negara. Jika tidak, kita cuma ngomong dan ngomong, sampai letih sendiri, merasa asing dengan bangsa dan budaya sendiri hingga akhirnya terperosok menjadi bangsa kuli....!!!!!! Biar bagaimanapun kita harus tetap bangga menjadi orang indonesia....

3 komentar:

  1. ada ga kebijakan soekarno terhadap islam???
    taufan

    BalasHapus
  2. kalo ada tolong jelasin yoo.sya lagi bwt skripsi tentang ntu

    BalasHapus
  3. Ada, penyatuan kultur budaya, suku etnis & ideologi dlm payung "NASAKOM", yg berdasar pada azaz PANCASILA. Nation & Character Building. kebijakan ttg keyakinan beraga menjadi ruh / spirit dlm mempersatukan nilai-nilai perdamaian. sbb Soekarno jg memiliki visi perdamaian dunia seperti apa nyg hari ini tengah di innginkan oleh presiden baru USA "Barrack Obama". Keterangan Lebih lanjut baca buku "DI BAWAH BENDERA REVOLUSI".

    BalasHapus